A.
MANAJEMEN
BERBASIS SEKOLAH
1.
Pengertian
Manajemen Berbasis Sekolah
Salah satu model otonomi
pendidikan ini adalah yang disebut dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Sekolah mempunyai kewenangan untuk melakukan kreasi, inovasi dan improvisasi
dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu.
Manajemen Berbasis Sekolah adalah model
manajemen yang memberikan
otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan
bersama/partisipatif dari semua warga sekolah dan masyarakat. Untuk mengelola sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Otonomi yang demikian memberikan kebebasan sekolah untuk membuat program-program sesuai dengan kebutuhan sekolah. Pengambilan keputusan bersama dengan warga sekolah dan dedikasi tanggung jawab bersama untuk kemajuan sekolah. Dengan tidak mengurangi otonomi sekolah, demi kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok untuk menguasai sekolah tanpa partisipasi warga sekolah dan masyarakat.
otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan
bersama/partisipatif dari semua warga sekolah dan masyarakat. Untuk mengelola sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Otonomi yang demikian memberikan kebebasan sekolah untuk membuat program-program sesuai dengan kebutuhan sekolah. Pengambilan keputusan bersama dengan warga sekolah dan dedikasi tanggung jawab bersama untuk kemajuan sekolah. Dengan tidak mengurangi otonomi sekolah, demi kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok untuk menguasai sekolah tanpa partisipasi warga sekolah dan masyarakat.
Manajemen berbasis sekolah (MBS)
merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat
bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi, seperti yang di amanatkan dalam
GBHN. Hal tersebut diharapakan dapat dijadikan landasan dalam pengembangan
pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik secara makro,
meso, maupun secara mikro. Kerangka makro erat
kaitannya dengan upaya politik yaitu desentralisasi dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah, aspek mesonya berkaitan dengan kebijakan daerah tingkat
provinsi sampai ke tingkat kabupaten, sedangkan
aspek mikro melibatkan seluruh sektor dan lembaga pendidikan yang paling bawah,
tetapi terdepan dalam pelaksanaannya bertumpu pada sekolah yang sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan tersebut.
Secara konseptual ada beberapa
istilah yang berkaitan dengan manajemen berbasis sekolah (MBS), di antaranya school
based management atau school based decision making and management.
Konsep dasar MBS adalah mengalihkan pengambilan keputusan dari pusat, kanwil,
kandep, dinas ke level sekolah. Mulyasa (2006:11) mengutip pendapat BPPN dan
Bank Dunia (1999) memberi pengertian MBS atau SBM merupakan alternatif sekolah
dalam program desentralisasi di bidang pendidikan, yang ditandai oleh otonomi
luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat dan dalam kerangka kebijakan
pendidikan nasional. MBS memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada
sekolah, disertai dengan seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya pengalihan
kewenangan pengambilan keputusan ke level sekolah, maka sekolah diharapkan
lebih mandiri dan mampu menentukan arah pembangunan pendidikan yang sesuai
dengan kondisi dan tuntutan lingkungan masyarakat. Hal ini berarti bahwa
sekolah harus mampu mengembangkan program yang relevan dengan kebutuhan
masyarakat.
Defenisi yang lebih luas tantang
MBS dikemukakan oleh Wohlstetter dan Mohrman (1996) (dalam Hasbullah, 2006:
67), yaitu sebuah pendekatan politis untuk mendesain ulang organisasi sekolah
dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada partisipan sekolah pada
tingkat lokal guna memajukan sekolahnya. Partisipan lokal sekolah tak lain
adalah Kepala Sekolah, guru, konselor, pengembang kurikulum, administrator,
orang tua siswa, masyarakat sekitar, dan siswa). Sehubungan dengan pendapat
tersebut, bahwa aspek politik dalam penyelenggaraan pendidikan di tingkat bawah
menjadi tanggung jawab sekolah karena kewenangan dan kekuasaan yang selama ini
terkonsentrasi pada pemerintah diserahkan ke sekolah sebagai penyelenggara
pendidikan di masyarakat.
2.
Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen berbasis sekolah (MBS) bertujuan untuk menjadikan sekolah lebih mandiri atau memberdayakan sekolah
melalui pemberian kewenangan (otonomi), fleksibilitas yang lebih besar kepada
sekolah dalam mengelola sumber daya, dan mendorong partisipasi warga sekolah
dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan (Hadiyanto, 2004:70).
Sementara itu, menurut Direktorat SLTP Departemen Pendidikan Nasional
(2002), secara khusus tujuan implementasi MBS adalah:
1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian,
fleksibilitas, partisipasi, keterbukaan, kerja sama, akuntabilitas,
sustainabilitas, dan inisiatif sekolah dalam mengelola, memanfaatkan, dan
memberdayakan sumber daya yang tersedia
2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama
3. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan
pemerintah untuk meningkatkan mutu sekolah
4. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah dalam meningkatkan kualitas
pendidikan.
MBS berpotensi menawarkan
partisipasi masyarakat, pemerataan, efisiensi, serta manajemen yang bertumpu
pada masyarakat tingkat sekolah. Menurut Hasbullah (2006: 69) MBS menjamin
bahwa semakin rendahnya kontrol pemerintah pusat, semakin meningkatnya otonomi
sekolah untuk menentukan sendiri apa yang perlu diajarkan dan mengelola sumber
daya yang ada di sekolah untuk berinovasi dan berimprovisasi.
MBS atau School Based Management
merupakan strategi untuk mewujudkan sekolah yang efektif produktif. Istilah ini
pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan
relevansi pendidikan dengan tuntutan dari perkembangan masyarakat setempat. MBS
merupakan paradigma baru manajemen pendidikan, yang memberikan otonomi luas
pada sekolah dan pelibatan masyarakat dalam kerangka kebijakan pendidikan
nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa menguasai sumber daya, sumber
dana, sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan, serta
lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.
Pemerataan pendidikan tampak pada
tumbuhnya partisipasi masyarakat terutama yang mampu dan peduli, sementara yang
kurang mampu akan menjadi tanggung jawab pemerintah. (Mulyasa, 2006). Untuk
mengimplementasikan MBS secara efektif dan efisien, hal penting yang harus
diperhatikan adalah manajemen terhadap komponen-komponen sekolah itu sendiri.
Salah satu komponen yang harus dikelola dengan baik, yaitu manajemen sekolah
dengan masyarakat. Karena, dalam MBS partisipasi masyarakat sangat penting,
tidak seperti pada masa lalu yang hanya terbatas pada mobilisasi dana.
Keterlibatan masyarakat benar-benar sangat menentukan setiap pengambilan
keputusan.
Partisipasi masyarakat dituntut
agar lebih memahami pendidikan, membantu, serta mengontrol pengelolaan
pendidikan. Dalam konsep penyelenggaraan pendidikan sekolah dituntut memiliki
tanggung jawab yang tinggi, di samping itu juga dibutuhkan peran orang tua,
masyarakat, maupun pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.
Dalam pelaksanaan otonomi
pendidikan terjadi pengaturan perimbangan kewenangan antara pusat dan daerah,
masing-masing harus mempunyai komitmen tinggi untuk mewujudkannya, sebab
keberhasilan otonomi daerah ditentukan tiga hal, yaitu: (1) adanya political
will dan political commitment dari pemerintah pusat untuk
benar-benar memberdayakan daerah; (2) adanya itikad baik dari pemerintah dalam
membantu keuangan daerah; (3) adanya perubahan perilaku elit lokal untuk dapat
membangun daerah.
Menurut Osborn dan Gaebler (2005:
41) peran birokrasi pemerintah adalah mengarahkan organisasi mencapai sasaran
dari pada mengayuh. Bahwa untuk mencapai tujuan suatu kebijakan khususnya di
bidang pendidikan, peran pemerintah lebih bersifat strategis, sebagai
fasilitator, sedangkan hal-hal yang berhubungan dengan operasional akan
ditentukan oleh sekolah berserta orang tua siswa dan masyarakat sekitarnya
(stakeholders). Menurut Hasbullah (2006:42) Pemerintah pusat mempunyai komitmen
untuk mengurus hal-hal strategis pendidikan pada tatanan nasional meliputi: (1)
mengembangan kurikulum pendidikan nasional; (2) bantuan teknis; (3) bantuan
dana; (4) monitoring; (5) pembakuan mutu; (6) pendidikan moral dan karakter
bangsa; (7) pendidikan bahasa Indonesia. Sedangkan pemerintah daerah mempunyai
komitmen untuk mengurus hal-hal operasional pendidikan, khususnya dalam
pengelolaan pendidikan yang meliputi aspek-aspek: (1) kelembagaan; (2)
kurikulum; (3) sumber daya manusia; (4) pembiayaan; (5) sarana prasarana.
3. Prinsip-prinsip Manajemen
Berbasis Sekolah
A.
Prinsip
Ekuifinalitas (Principal of Equifinality)
Prinsip ini didasarkan pada teori manajemen modern yang
berasumsi bahwa terdapat beberapa cara yang berbeda-beda untuk mencapai suatu
tujuan.
B.
Prinsip
Desentralisasi (Principal of Decentralization)
Desentralisasi
adalah gejala yang penting dalam reformasi manajemen sekolah modern. Prinsip
desentralisasi ini konsisten dengan prinsip ekuifinalitas
C.
Prinsip
Sistem Pengelolaan Mandiri (Principal of Self Managing System)
Prinsip ini
terkait dengan prinsip sebelumnya, yaitu prinsip ekuifinalitas dan prinsip
desentralisasi. Ketika sekolah menghadapi permasalahan maka harus diselesaikan
dengan caranya sendiri.
D.
Prinsip
Inisiatif Manusia (Principal of Human Initiative)
Prinsip ini
mengakui bahwa manusia bukanlah sumber daya yang statis, melainkan dinamis. Oleh karena
itu, potensi sumber daya manusia harus selalu digali, ditemukan, dan kemudian
dikembangkan. Manajemen kurikulum dan program pengajaran.
Adapun Prinsip dan Implementasi MBS Prinsip utama dalam
pelaksanaan MBS ada 5 (lima) hal yaitu sebagai berikut:
1. Fokus pada mutu
2. Bottom-up planning and decision making
3. Manajemen yang transparan
4. Pemberdayaan masyarakat
5.
Peningkatan
mutu secara berkelanjutan
Prinsip MBS Dalam mengimplementasikan
MBS terdapat 4 (empat) prinsip yang harus difahami yaitu: kekuasaan;
pengetahuan; sistem informasi; dan sistem penghargaan.
1.
Kekuasaan
Kepala sekolah memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk mengambil keputusan
berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sekolah dibandingkan dengan sistem
pendidikan sebelumnya. Kekuasaan ini dimaksudkan untuk memungkinkan sekolah
berjalan dengan efektif dan efisien. Kekuasaan yang dimiliki kepala sekolah
akan efektif apabila mendapat dukungan partisipasi dari berbagai pihak,
terutama guru dan orangtua siswa. Seberapa besar kekuasaan sekolah tergantung
seberapa jauh MBS dapat diimplementasikan. Pemberian kekuasaan secara utuh
sebagaimana dalam teori MBS tidak mungkin dilaksanakan dalam seketika,
melainkan ada proses transisi dari manajemen yang dikontrol pusat ke MBS.
Kekuasaan yang lebih besar yang dimiliki oleh kepala sekolah dalam pengambilan
keputusan perlu dilaksanakan dengan demokratis antara lain dengan:
a. melibatkan semua fihak, khususnya guru dan
orangtua siswa.
b. membentuk tim-tim kecil di level sekolah yang
diberi kewenangan untuk mengambil keputusan yang relevan dengan tugasnya
c.
menjalin
kerjasama dengan organisasi di luar sekolah.
2. Pengetahuan Kepala sekolah dan seluruh warga
sekolah harus menjadi seseorang yang berusaha secara terus menerus menambah
pengetahuan dan ketrampilan dalam rangka meningkatkan mutu sekolah. Untuk itu,
sekolah harus memiliki sistem pengembangan sumber daya manusia (SDM) lewat
berbagai pelatihan atau workshop guna membekali guru dengan berbagai kemampuan
yang berkaitan dengan proses belajar mengajar. Pengetahuan yang penting harus
dimiliki oleh seluruh staf adalah :
a. pengetahuan untuk meningkatkan kinerja
sekolah,
b. memahami dan dapat melaksanakan berbagai
aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan quality assurance, quality
control, self assessment, school review, bencmarking, SWOT, dll).
3. Sistem Informasi Sekolah yang melakukan MBS
perlu memiliki informasi yang jelas berkaitan dengan program sekolah. Informasi
ini diperlukan agar semua warga sekolah serta masyarakat sekitar bisa dengan
mudah memperoleh gambaran kondisi sekolah. Dengan informasi tersebut warga
sekolah dapat mengambil peran dan partisipasi. Disamping itu ketersediaan
informasi sekolah akan memudahkan pelaksanaan monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas
sekolah. Infornasi yang amat penting untuk dimiliki sekolah antara lain yang
berkaitan dengan : kemampuan guru
dan Prestasi siswa.
4. Sistem
Penghargaan Sekolah yang melaksanakan MBS perlu menyusun sistem penghargaan
untuk memberikan penghargaan kepada warga sekolah yang berprestasi. Sistem
penghargaan ini diperlukan untuk mendorong karier warga sekolah, yaitu guru,
karyawan dan siswa. Dengan sistem ini diharapkan akan muncul motivasi dan ethos
kerja dari kalangan sekolah. Sistem penghargaan yang dikembangkan harus
bersifat adil dan merata.
Kewenangan yang diidesentralisasikan.
Kewenangan yang diidesentralisasikan.
4. Indikator Keberhasilan Manajemen Berbasis Sekolah
Indikator Keberhasilan MBS. Secara umum,
berikut ini adalah Indikator keberhasilan implementasi MBS.
1. Efektif Proses Pembelajaran
Sekolah yang menerapkan MBS memiliki
efektivitas proses proses pembelajaran yang tingi. Ini ditunjukkan oleh sifat
pembelajaran yang menekankan pada pemberdayan peserta didik. Pembelajaran bukan
sekedar transformasi dan mengingat , bukan sekedar penekanan pada pengasaan
pengetahuan tentang apa yang dianjarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai
muatan nurani dan hayati seta dipraktekan dalam kehidupan oleh peserta didk.
Bahkan pembelajaran juga lebih menekankan pada peserta didik agar mau belajar
bagaimana cara belajar yang produktif.
2. Kepemimpinan Sekolah yang
Kuat
Bagi sekolah yang menerapkan MBS, Kepala
Sekolah memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakan dan
menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia. Kepentingan Kepala
Sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat
mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolahnya melalui program-program
yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena itu Kepala Sekolah
dituntut mempunyai kemampuan manajerial dan kepemimpinan yang memadai agar
mampu mengambil inisiatif atau prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah.
3. Pengelolaan Tenaga Kependidikan yang Efektif
Tenaga kependidikan terutama guru,
merupakan salah satu faktor strategis dari suatu sekolah. Oleh karena itu,
pngelolaan tenaga kependidikan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan,
pengembangan, evaluasi kerja, hubungan kerja, sampai pada balas jasa, merupakan garapan
penting bagi kepala sekolah. Pengembangan tenaga kependidikan harus dilakukan
secara terus menerus, mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang sedemikian pesat. Dengan kata lain, tenaga kependidikan yang diperlukan
untuk manajemen berbasis sekolah adalah tenaga kependidikan yang selalu mampu
dan sanggup menjalankan tugasnya dengan baik.
4. Sekolah Memiliki Budaya Mutu
Budaya mutu tertanam di sanubari semua
warga sekolah sehingga setiap prilaku selalu didasari oleh profesionalisme.
Budaya mutu memiliki elemen-elemen sebagai berikut (a) informasi kualitas harus
digunakan untuk perbaikan, bukan untuk mengadili atau mengontrol orang ; (b)
kewenangan harus sebatas tanggungjawab; (c) hasil harus diikuti “rewards: atau
“ punishments” ‘; (d) kolaborasi dan sinergi harus merupakan dasar kerja sama;
(e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya : (f) atmosfer keadilan
(fairness) haru ditanamkan ; (g) imbal jasa harus sepadan dengan nilai
pekerjaannya; (h) warga sekolah merasa memiliki sekolah.
5. Sekolah
Memiliki “ Team Work “ yang Kompak, Cerdas, dan Dinamis
Kebersamaan (Team Work) merupakan
karakteristik yang dituntun oleh Manajemen Berbasis Sekolah, karena output
pendidikan merupakan hasil kolektif warga sekolah bukan hasil individual.
Karena itu, budaya kerjasama antar fungsi dalam sekolah, harus merupakan
kebiasaan hidup sehari-hari warga sekolah.
6. Sekolah
Memilik Kemandirian
Sekolah memiliki kewengan untuk
melakukan yang terbaik bagi sekolahnya, sehingga dituntut untuk memiliki
kemampuan dan kesanggupan kerja yang tidak selalu menggantungkan pada atasan.
Untuk menjadi mandiri, sekolah harus memiliki sumber daya yang cukup untuk
menjalankan tugasnya.
7. Partisipasi
Warga Sekolah dan Masyarakat
Sekolah yang menerapkan Manajemen
berbasis Sekolah memiliki karakteristik partisipasi sekolah dan masyarakat yang
tinggi. Hal ini di landasi keyakinan bahwa makin tinggi tingkat partisipasi,
makin besar pula rasa tanggung jawab; dan makin besar rasa tanggung jawab makin
besar pula tingkat dedikasinya.
8. Sekolah
Memiliki Ttransparansi
Keterbukaan/transparansi dalam
pengelolaan sekolah merupakan karakteristik sekolah yang menerapkan Manajemen
Berbasis Sekolah. Keterbukaan/transparansi ini ditunjukan dalam pengambilan
keputusan, penggunaan uang, dan sebagainya, yang selalu melibatkan pihak-pihak
terkait sebagai alat kontrol.
9. Sekolah
Memiliki Kemauan Untuk Berubah (Psikologis dan Fisik)
Perubahan harus merupakan “kenikmatan”
bagi semua warga sekolah. Sebaliknya, kondisi statis merupakan musuh sekolah.
Tentu saja yang dimaksud dengan perubahan adalah adanya peningkatan yang
bermakna positif. Artinya, setiap perubahan yang dilakukan, hasilnya diharapkan
bisa lebih baik dibanding dengan kondisi sebelumnya (ada peningkatan) terutama
dalam mutu peserta didik.
10. Sekolah
Melakukan Evaluasi dan Perbaikan Secara Berkelanjutan
Evaluasi belajar secara teratur bukan
hanya ditunjukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta
didik, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi
belajar tersebut untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses pembelajaran di
sekolah. Oleh karena itu, fungsi evaluasi menjadi sangat penting dalam rangka
meningkatkan mutu peserta didik dan mutu sekolah secara terus menerus.
Perbaikan secara terus menerus harus merupakan kebiasaan warga sekolah. Tiada hari tanpa perbaikan. Karena itu, sistem mutu yang baku sebagai acuan bagi perbaikan harus ada. Sistem mutu yang dimaksud harus mencakup struktur organisasi, tanggung jawab, prosedur dan sumber daya untuk menerapkan manajemen mutu.
Perbaikan secara terus menerus harus merupakan kebiasaan warga sekolah. Tiada hari tanpa perbaikan. Karena itu, sistem mutu yang baku sebagai acuan bagi perbaikan harus ada. Sistem mutu yang dimaksud harus mencakup struktur organisasi, tanggung jawab, prosedur dan sumber daya untuk menerapkan manajemen mutu.
11. Sekolah
Resposhif dan Antisifatif terhadap Kebutuhan.
Sekolah selalu tanggap (responshive)
terhadap berbagai aspirasi yang muncul bagi peningkatan mutu. Karena itu,
sekolah selalu membaca lingkungan dan menaggapinya secar cepat dan tepat.
Bahkan sekolah tidak hanya mampu menyesuaikan terhadap perubahan/tututan, akan
tetapi juga mampu mengantisipasi hal-hal yang mungkin bakal terjadi. Menjemput
bola, adalah padanan kata yang tepat bagi istilah antisipatif.
12. Sekolah
Memiliki Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah bentuk
pertanggungjawaban yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan program
yang telah dilaksanakan. Akuntabilitas ini berbentuk laporan prestasi yang
dicapai baik kepada Pemerintah maupun kepada orang tua peserta didik dan
masyarakat. Berdasarkan hasil laporan program ini, Pemerintah dapat menilai
apakah program MBS telah mencapai tujuan yang dikehendaki atau tidak. Jika
berhasil maka, Pemerintah perlu memberikan penghargaan kepada sekolah yang
bersangkutan, sehingga menjadi faktor pendorong untuk meningkatkan kinerjanya
dimasa yang akan datang sebaliknya jika program tersebut belum berhasil,
Pemerintah perlu memberikan koreksi atas kinerjanya yang dianggap belum
memenuhi kondisi yang diharapkan dan selanjutnya memberikan umpan balik bagi kepentingan
peningkatan kinerja.
Demikian pula, para orang tua dan
anggota masyarakat dapat memberikan penilaian apakah program ini dapat prestasi
anak didik dan kinerja sekolah secara keseluruan. Jika berhasil, orang tua dan
masyarakat perlu memberikan semangat dan dorongan untuk peningatan program yang
akan datang. Jika belum berhasil, maka orang tua dan masyarakat berhak meminta
pertanggungjawaban dan penjelasan. Dengan cara ini, maka sekolah diharapkan
akan menyusun dan melaksanakan program pada tahun-tahun yang akan datang dengan
lebih baik.
Beberapa indikator keberhasilan
akuntabilitas adalah :
1. Meningkatnya kepercayaan dan kepuasan
publik terhadap sekolah.
2. Tumbuhnya kesadaran publik tentang
hak untuk menilai terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah, dan
3. Meningkatnya kesesuaian
kegiatan-kegiatan sekolah dengan nilai dan norma yang berkembang di masyarakat.
Ketiga indikator di atas dapat
dipakai oleh sekolah untuk mengukur apakah akuntabilitas manajemen sekolah
telah mencapai hasil sebagaiamana yang dikehendaki. Tidak saja publik merasa
puas, tetapi sekolah akan mengalami peningkatan dalam banyak hal.
13. Sekolah
Memiliki Sutainabilitas
Sekolah yang menerapkan MBS memiliki
sutainbilitas yang tinggi hal ini dimungkinkan adanya akumulasi peningkatan
mutu sumberdaya manusia, diversifikasi sumber dana, pemilikan sekolah yang
mampu menggerakan income sendiri, dan dukungan yang tinggi dari masyarakat
terhadap eksistensi sekolah.
14. Out
Put adalah Prestasi Sekolah
Prestasi yang dihasilkan oleh proses
pembelajaran dan manajemen di sekolah dapat memberi makna pada upaya
peningkatan prestasi
sekolah, baik prestasi akademik maupun non akademik.
15. Penekanan
Angka Drop out
Manajemen Berbasis Sekolah senantiasa
memprioritaskan pelayanan pendidikan kepada anak didik, dengan demikian secara
signipikan angka drop out diminimalkan.
16. Kepuasan
Staf
Ciri MBS antara lain memberikan peluang
pada adanya berbagai kewenangan, dan tanggungjawab secara kolektif. Hal ini
memungkinkan terbinanya kepuasan staf, sesuai dengan tugas dan kewenangannya.
Faktor
Pendukung Keberhasilan MBS
Implementasi
MBS akan sangat dipengaruhi oleh bebrapa faktor yang sifatnya intrnal
dilingkungan sekolah, ataupun faktor eksternal diluar sekolah. Secara umu
beberapa faktor pendukung MBS tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kepemimpinan
dan Manajemen sekolah yang baik
MBS
akan berhasil jika ditopang oleh kemampuan profesional Kepala Sekolah dalam
memimpin dan mengelola sekolah secara efektif dan efisien, serta mampu
menciptakan iklim organisasi disekolah yang kondusif untuk proses belajar
mengajar .
2. Kondisi
sosial, ekonomi, dan apresiasi masyarakat terhadap pendidikan
Faktor
eksternal yang akan turut menentukan keberhasilan MBS adalah kondisi tingkat
pendidikan orang tua siswa dan masyarakat. Kemampuan dalam membiayai
pendidikan, serta tingkat apresiasi dalam mendorong anak untuk terus belajar.
3. Dukungan
Pemerintah
Faktor
ini sangat menentukan efektivitas implementasi MBS terutama bagi sekolah yang
kemampuan orang tua/masyarakat relatif belum siap memberikan kontribusi
terhadap penyelenggaraan pendidikan. Alokasi dana pemerintah (APBN, APBD) dan
pemberian kewenangan dalam pengelolaan sekolah menjadi penentu keberhasilan.
Profesionalisme
Faktor ini sangat strategis dalam upaya menentukan mutu dan kinerja sekolah. Tanpa profesionalisme Kepala Sekolah, Guru dan Pengawas akan sulait di capai MBS yang bermutu tinggi serta prestasi siswa.
Faktor ini sangat strategis dalam upaya menentukan mutu dan kinerja sekolah. Tanpa profesionalisme Kepala Sekolah, Guru dan Pengawas akan sulait di capai MBS yang bermutu tinggi serta prestasi siswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar